Perubahan paradigma pendidikan global belakangan ini menunjukkan pergeseran dari sistem yang seragam menuju pendekatan yang lebih fleksibel dan terpersonalisasi. Di tengah arus ini, keberadaan Ujian Nasional (UN) sebagai bentuk penilaian massal menjadi sorotan. situs neymar88 Sistem ujian standar yang sama untuk seluruh siswa di satu negara dipertanyakan relevansinya ketika setiap individu kini diakui memiliki keunikan dalam gaya belajar, kemampuan, dan latar belakang sosial-budaya.
Pendidikan personalisasi menawarkan pendekatan pembelajaran yang menyesuaikan diri dengan kebutuhan setiap siswa. Konsep ini bertabrakan secara langsung dengan prinsip Ujian Nasional yang bersifat seragam dan menyamaratakan tolok ukur keberhasilan akademik. Maka, muncul pertanyaan besar: masihkah Ujian Nasional memiliki tempat di sistem pendidikan modern?
Filosofi di Balik Ujian Nasional
Ujian Nasional awalnya dirancang untuk menjadi alat ukur kualitas pendidikan secara nasional. Dengan satu sistem penilaian yang sama, pemerintah dapat memantau capaian akademik siswa dari Sabang sampai Merauke. Data hasil UN kemudian digunakan untuk evaluasi sekolah, perbaikan kurikulum, dan kebijakan pendidikan.
Salah satu keunggulan UN adalah kesederhanaan dan skalabilitasnya. Sistem ini menawarkan tolok ukur objektif dalam jumlah besar dan memudahkan pemerintah memetakan potret pendidikan nasional secara menyeluruh.
Ketimpangan yang Tak Terhindarkan
Meskipun bertujuan untuk objektivitas, UN sering kali mengabaikan realitas ketimpangan yang ada di lapangan. Akses terhadap guru berkualitas, infrastruktur sekolah, serta lingkungan belajar yang mendukung sangat bervariasi di setiap daerah. Siswa di kota besar dan sekolah unggulan memiliki modal yang jauh lebih baik dibandingkan mereka yang tinggal di daerah tertinggal.
Akibatnya, UN kerap dianggap tidak adil. Siswa di lingkungan kurang mendukung harus berkompetisi dengan standar yang sama, meskipun kondisi mereka sangat berbeda. Hal ini memperparah tekanan psikologis dan memperlebar kesenjangan pendidikan.
Pendidikan Personalisasi dan Penilaian Alternatif
Pendidikan personalisasi mendorong pendekatan yang menyesuaikan strategi belajar dengan keunikan tiap siswa. Di sistem ini, penilaian tidak hanya berfokus pada hasil akhir, tetapi juga proses belajar, perkembangan minat, dan penguasaan keterampilan non-akademik. Maka, asesmen formatif, portofolio, dan proyek menjadi bentuk evaluasi yang lebih sesuai.
Model seperti ini telah diterapkan di banyak negara maju. Finlandia, misalnya, menekankan pada evaluasi berkelanjutan dan keterlibatan guru dalam menilai perkembangan siswa. Singapura mulai meminimalkan ujian standar di tingkat dasar, dan lebih banyak mengintegrasikan penilaian berbasis kompetensi.
Ujian Nasional dalam Konteks Indonesia
Di Indonesia sendiri, Ujian Nasional resmi dihentikan sejak tahun 2021 dan digantikan oleh Asesmen Nasional. Meskipun berbeda format, Asesmen Nasional tetap menggunakan sistem pengukuran berskala nasional. Namun, tujuannya tidak lagi untuk mengevaluasi individu, melainkan mengukur kualitas sistem pendidikan melalui asesmen literasi, numerasi, dan survei karakter.
Langkah ini mencerminkan pergeseran arah kebijakan ke model pendidikan yang lebih humanistik dan kontekstual. Sekaligus menjadi pengakuan bahwa sistem satu ukuran untuk semua tidak lagi relevan dalam dunia pendidikan yang semakin kompleks dan beragam.
Kesimpulan
Keberadaan Ujian Nasional sebagai tolok ukur tunggal tidak lagi sejalan dengan semangat pendidikan personalisasi. Meskipun sempat memainkan peran penting dalam memetakan capaian pendidikan nasional, sistem ini terbukti menciptakan tekanan dan ketimpangan. Di era di mana keberagaman siswa diakui sebagai kekuatan, bentuk penilaian yang lebih fleksibel dan kontekstual menjadi kebutuhan yang tak terhindarkan. Maka, pendekatan penilaian yang mengedepankan proses, kreativitas, dan relevansi kontekstual akan lebih selaras dengan arah masa depan pendidikan.